Inkonsistensi dan Lika-Liku Naiknya PPN

"Menjelang akhir tahun, masyarakat makin ketar-ketir, merasa terancam dengan kenaikan PPN menjadi 12%."
money-3431772_1920

Isu kenaikan PPN menjadi 12% terus mengular di media sosial, khususnya X (Twitter). Bukan tanpa alasan, ramainya perbincangan PPN yang terakhir naik pada 2014 ini menunjukkan ketidakpastian dari pemerintah; apa saja item atau barang yang terkena imbas PPN 12%. Mulai dari barang mewah yang belum terklasifikasi secara cermat, hingga banyak kebutuhan dasar yang turut terdampak seperti layanan internet dan pembayaran non tunai QRIS.

Kami pun mencoba mengurai diskursus mengenai kenaikan PPN yang terjadi selama rentang 14 Desember 2024 hingga 22 Desember 2024. Metode yang kami gunakan yakni big data analytic yang mengumpulkan 8.163 tweet. Data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan metode sentiment analysis untuk melihat sentimen yang terdapat dalam tweet dan analisis konten untuk melihat wacana yang dibawakan dalam tweet tersebut. Lebih lanjut, data yang terkumpul juga dianalisis menggunakan social network analysis (SNA) untuk melihat jejaring interaksi yang terbentuk di media sosial.

Gambar 1. Kluster interaksi

Dari analisis SNA tersebut, dapat terlihat beberapa kluster yang terbentuk. Kluster terbesar merupakan kluster akun @BudiBukanIntel. Akun ini merupakan akun yang paling vokal dan intens menyuarakan penolakan kenaikan PPN. Kluster ini pun saling terhubung dengan kluster-kluster lain yang juga menolak kenaikan PPN.

Tidak hanya kluster yang kontra dengan kenaikan PPN, juga terdapat kluster yang mendukung kenaikan PPN. Kluster tersebut adalah kluster akun @Ndrewstjan dan @kelixmann. Namun, posisi kedua kluster tersebut yang jauh dari kumpulan kluster penolak kenaikan PPN menunjukkan bahwa cuitan dari kedua akun tersebut gagal memengaruhi narasi umum tentang penolakan kenaikan PPN.

Gambar 2. Persentase sentimen X

Kegagalan narasi pro kenaikan PPN juga terlihat dari jumlah sentimen yang muncul di X. Sentimen negatif masih mendominasi dengan persentase 50,6%. Hal ini berbanding terbalik dengan sentimen positif yang hanya sebesar 5,4%.

Gambar 3. Timeline Isu Kenaikan PPN

Isu kenaikan PPN 12% terus meningkat dari tanggal 13 Desember 2024. Pembahasan isu ini mencapai puncaknya pada tanggal 19 Desember 2024. Hal ini bertepatan dengan dilaksanakannya aksi demonstrasi menolak kenaikan PPN di Jakarta.

Gambar 4. Timeline Wacana PPN Barang Mewah

Salah satu permasalahan yang dibahas oleh netizen adalah mengenai kenaikan PPN yang hanya dikenakan pada barang mewah. Netizen ragu apakah benar hanya barang mewah yang dikenakan kenaikan PPN, terlebih lagi banyak pakar yang menyatakan bahwa semua barang akan terdampak dari adanya kenaikan PPN ini. Pembahasan ini kembali meningkat mulai tanggal 21 Desember 2024 setelah Direktorat Jenderal Pajak menyatakan bahwa semua barang akan dikenai kenaikan PPN, bukan hanya barang mewah.

Gambar 5. Timeline Wacana PPN Sembako

Permasalahan harga sembako juga menjadi perhatian netizen. Netizen mengkhawatirkan kenaikan PPN juga akan berdampak pada kenaikan harga barang pokok. Ketakutan netizen ini akhirnya dikonfirmasi oleh pernyataan Direktorat Jenderal Pajak yang menyatakan bahwa seluruh barang akan dikenakan kenaikan PPN.

Gambar 6. Tweet sentimen negatif PPN

Selain narasi penolakan kenaikan PPN, juga terdapat narasi yang mendukung kenaikan PPN. Narasi ini menggunakan tagar #PPNMemperkuatEkonomi. Namun, tak seperti narasi penolakan yang berkembang secara gradual, narasi mendukung kenaikan PPN ini meningkat secara drastis dan tiba-tiba di tanggal 20 Desember 2024. Lalu, narasi ini dengan cepat menurun kembali mulai tanggal 21 Desember 2024.

Gambar 7. Timeline Tweet #PPNMemperkuatEkonomi

Gambar 8. Tweet sentimen positif PPN

Gambar 9. Timeline umum kenaikan PPN

Jika dilihat dari cara komunikasinya, pemerintah belum mampu mengkomunikasikan kebijakan ini dengan baik. Ketika kebijakan kenaikan PPN diketok, pemerintah, melalui Menko Perekonomian, menyatakan bahwa hanya barang mewah yang akan dikenai kenaikan PPN. Namun, di saat yang bersamaan, Menko Perekonomian juga menyatakan akan ada insentif berupa pemotongan pajak bagi kendaraan listrik. Selain itu, Direktorat Jenderal Pajak juga menyatakan bahwa tiket konser tidak akan dikenai PPN 12%. Padahal, kedua barang ini termasuk ke dalam barang mewah.

Selanjutnya, pada 18 Desember 2024, Menko Bidang Pangan menyatakan bahwa beras premium tidak akan dikenai kenaikan PPN. Padahal, Menko Perekonomian sebelumnya menyatakan bahwa beras premium termasuk ke dalam barang mewah yang akan dikenai kenaikan PPN. Menko Bidang Pangan malah membuat istilah baru, yakni beras khusus, untuk membedakannya dengan beras premium.

Tidak hanya itu, ketidakjelasan komunikasi pemerintah juga terjadi saat pemerintah menjelaskan dampak kenaikan PPN terhadap transaksi digital. Direktorat Jenderal Pajak menyatakan bahwa transaksi digital akan dikenakan kenaikan PPN. Tapi, di sisi lain, Menko Perekonomian menyatakan bahwa transaksi digital tidak akan dikenai kenaikan PPN.

Puncaknya, pada 21 Desember 2024, Direktorat Jenderal Pajak menyatakan bahwa seluruh barang dan jasa yang sebelumnya dikenakan PPN 11% akan dikenakan kenaikan PPN. Hal ini sangat bertentangan dengan yang disampaikan pemerintah sedari awal bahwa kenaikan PPN hanya untuk barang mewah.

Inkonsistensi menunjukkan inkompeten?

Apa yang paling kami soroti adalah perihal bagaimana inkonsistensi pemerintah dalam menyampaikan kenaikan PPN ini. Dari data berita yang kami himpun selama satu minggu, beberapa pejabat pemerintah menyampaikan beragam pernyataan mengenai kenaikan PPN. Pergerakan isunya pun naik turun; klarifikasi barang apa saja yang terimbas, masyarakat tidak perlu khawatir, diskon bahan dan jasa kebutuhan pokok (listrik dan beras), namun kembali lagi membahas barang yang terimbas ternyata termasuk dalam aspek kebutuhan dasar untuk hidup. Klarifikasi soal QRIS, contohnya, disampaikan bahwa kenaikan akan dibebankan pada merchant (MDR) (Detik, 2024). Namun, sebagian masyarakat menganggap kenaikan ini akan berujung pada kenaikan harga barang yang tentu berefek ke konsumen seperti yang disampaikan Celios dalam liputan Katadata (2024).

Inkonsistensi dalam mengkomunikasikan kebijakan menciptakan kekhawatiran di kalangan masyarakat, seolah-olah pemerintah tidak memiliki rencana yang jelas. Hal ini menimbulkan persepsi akan adanya krisis ekonomi di tahun mendatang, sehingga masyarakat berlomba-lomba mengurangi pengeluaran untuk mengantisipasi ketidakpastian ekonomi yang mungkin terjadi. Hal ini sebagai akibat dari ketidakjelasan dan inkonsistensi dalam menyampaikan informasi yang dapat menimbulkan persepsi negatif dan ketidakpastian di masyarakat. Masyarakat merasa cemas dan menganggap 2025 bisa menjadi krisis ekonomi, karena mereka berupaya mengurangi daya beli dan mengubah gaya hidup. 

 

Referensi:

https://www.iseas.edu.sg/wp-content/uploads/2021/08/ISEAS_Perspective_2021_113.pdf?form=MG0AV3

https://katadata.co.id/finansial/makro/676a921c3bd48/harga-barang-terancam-naik-imbas-biaya-admin-transaksi-qris-kena-ppn-12?form=MG0AV3

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-7699232/pernyataan-lengkap-kemenkeu-soal-qris-tak-kena-ppn-12?form=MG0AV3

Penulis:
Fandy Arrifqi, Peneliti Pares
Naura Iftika Ramadhanti, Peneliti Pares
Scroll to Top